Baru-baru ini, dalam pekerjaanku aku menemukan artikel tentang nilai-nilai (orang/bangsa) Asia, dimana salah satunya menyebutkan keluarga merupakan pondasi masyarakat, dimana fenomena yang banyak terjadi sekarang adalah nilainya semakin terdegradasi oleh adanya modernisasi atau westernisasi yang mengikis warisan leluhur yang tak terhitung tuanya itu. Family and its members? Well, such a complicated relationship, I think. Dan entah kenapa, ngomongin keluarga, aku jadi ingat suatu cerita di masa kecilku, tentang keluarga, dimana aku suka banget ngikutin serial pilem di tipi, tentang seorang anak perempuan bernama Laura dan keluarganya. Cerita itu begitu berkesan, sangat membekas dalam ingatanku, dan sampai sekarang penasaran bagaimana akhir cerita tersebut. Jauh sebelum aku mengoleksi ke-11 buku seri “little house” karya Laura Ingals Wilder.
Aku mengenalnya pertama kali pada masa kanak-kanakku dari mengikuti serial TV dengan judul “little house on the prairie” ini di TVRI (ya baru ada satu stasiun tipi ini di negeri tercinta ini), kira-kira saat aku masih SD, bercerita tentang keluarga Ingals yang terdiri dari Pa, Ma, Mary, Laura, Carrie, and Grace. Serial ini dibuat sekitar tahun 1974 (dbintangi oleh Michael London as Pa, Melissa Gilbert muda as Laura of course, dll), soalnya ibuku juga cerita klo pas kecil dia juga suka ngikutin serial keluarga ini, jadi emang udah lama banget. Bercerita tentang keluarga-keluarga pioneer di amerika, dengan rumah mereka yang masih terbuat dari kayu atau papan, kendaraan berupa kereta kuda, gerobak atau kuda, walaupun kemudian kereta api juga diceritakan muncul di sini, ladang gandum mereka, dimana mereka menghuni padang rumput yang beberapa tahun kemudian akan menjadi kota, didatangi banyak keluarga lainnya.
Dan bertahun-tahun kemudian aku menemukan bahwa cerita tersebut ternyata berdasarkan kisah nyata yang ditulis oleh anak kedua keluarga Ingals, Laura Ingals Wilder (lahir tahun 1876). Buku-buku dalam seri Rumah Kecil ini menceritakan kehidupan atau perjalanan keluarga ini yang dimulai dari sebuah rumah kecil dari balok kayu di pinggir daerah Rimba Besar, Wisconsin. Bertahun-tahun mereka berpindah-pindah, menempuh perjalanan dengan gerobak beratap kain menjelajahi daerah Kansas, Minnesota, dan akhirnya Dakota, tempat dimana Laura bertemu dan menikah dengan Almanzo Wilder.
Dari semua itu banyak sekali hal yang mereka temui, kekecewaan serta kerja keras, misalnya, panen gagal karena belalang angin ribut dan belalang, bertemu beruang, terjebak badai salju, dll. Tapi ada banyak juga saat bahagia penuh rasa cinta dan tawa ria, mendengarkan gesekan biola Pa setelah makan malam, naik kereta salju, hari-hari besar yang dirayakan dengan meriah (kembang api dan permen warna-warni), dan pesta-pesta pertemuan.
Laura, yang lebih dekat dengan Pa-nya, karena mungkin dianggap lebih sebagai “anak lelaki” dari ke-4 anak perempuan, menjadi narator dalam semua cerita ini, semua dilihat dari sudut pandang yang dialami dan ditulisnya, dari dia kecil sampai dia menikah dan punya anak. Dari hal-hal kecil sampai besar yang terjadi sehari-hari di sekitarnya.
Untuk mengenang semangat kepioniran mereka, juga terdapat museum, rumah-rumah memoriam, juga lukisan-lukisan dan gambar yang dibuat yang berdasarkan riset selama 10 tahun, dimana si pelukis, Garth Williams benar-benar mengikuti jejak yang pernah ditempuh oleh keluarga Ingals, antara tahun 1870 – 1889.
Ada satu bait syair yang diyanyikan Pa pada suatu malam saat Laura dan Mary sudah hampir tertidur dan Ma yang cuma berdiam diri:
Walaupun kita mengembara,
di antara kemewahan dan istana-istana
rumah tercinta tidak ada bandingnya
walaupun sangat sederhana.
Home-sweet-home, huh? Benarkah?
No comments:
Post a Comment