Sunday, July 25, 2010

dengan tak sabar segera kusobek bagian pinggir amplop yang berisikan surat dari seorang teman lama, seorang sahabat, yang juga sudah lama tak bertemu, terpisah jarak dan waktu. untungnya kami masih terhubungkan walau melalui cara yang konvensional ini (walaupun teknologi komunikasi yang canggih juga kami pakai, tapi entah kenapa dengan surat bisa tercurah semuanya!). gara-gara surat ini juga kuurungkan aktivitasku yang tadi sebenarnya sudah siap cabut ke tempat kerja.
kubaca lembar pertama yang berisikan penjelasan panjang lebar tentang keterlambatan suratnya (faktor kesibukan plus nggak mood. aku sendiri nyadar klo nulis surat tu dibutuhkan mood yang pas). kemudian berlanjut cerita tentang kesibukan sehari-hari dalam kehidupannya. tentang nasibnya sebagai anak perempuan, di tengah-tengah masyarakat yang terlalu “memperhatikan” atau “memusingkan” keadaan orang lain, terutama anak gadis. dia merasa tertekan dengan tuntutan atau lebih tepatnya pertanyaan, “kapan kawin?”, udah cukup umur apalagi banyak teman sebayanya bahkan sudah menggendong momongan. dan banyak tekanan lainnya yang menurutku terlalu ikut campur urusan atau hidup orang.
sahabatku ini mengemukakan bahwa dia belum menemukan yang “sreg” di hati – the right one – entah apa dia udah siap menempuh jenjang perkawinan apa belum, yang jelas, katanya, dia masih mencintai dan mengharapkan mantan pacarnya, walaupun dia beralasan bahwa mereka berdua tidak bakalan pernah bisa bersatu. sahabatku ini tidak menjelaskan dengan jujur kenapa alasan tidak bisa bersatu tadi. aku cuma bisa menarik kesimpulanku sendiri, klo nggak si cowok udah milik orang lain (udah punya tunangan atau bahkan istri, mungkin), ya kalau nggak pasti soal beda keyakinan, beda agama. masalah klasik (dimana aku pernah baca, kenapa selalu ada kecenderungan kejam untuk mengkotak-kotakkan manusia, mengelompok-kelompokkan manusia, kenapa bukan menganggap manusia sebagai sesama umat manusia saja).
lembar selanjutnya, sahabatku merasa iri padaku, pada kehidupanku yang katanya lebih menyenangkan (ah, nggak juga), tidak ditekan atau didesak soal nikah ini (untungnya emang enggak, hihi), udah bisa mandiri dengan pekerjaan yang kupunya (padahal aku masih numpang kost dan makan gratis di rumah ortu), dan banyak hal menarik lainnya, jika dibandingkan dengan kehidupannya sendiri.
aku terpekur setelah membaca lembar terakhir, dimana sahabatku mendoakan semoga hubungan persahabatan kami tetap terjalin, tak peduli jarak dan waktu yang membentang di antara kami. dia juga berdoa semoga kami berdua bisa menemukan the right one masing-masing dan berbahagia.
bahagia? it’s all human are searched for! aku cuma bisa membatin bahwa pengalaman cintaku-pun nggak mulus-mulus amat, menyedihkan bahkan, hehehe.

Bookmark and Share

No comments:

Post a Comment