Sunday, July 25, 2010

let’s dance, life

Sejak kecil – semenjak bisa mengingat – aku suka berlari kecil dengan kakiku melompat-lompat dalam gerakan kecil berputar-putar mengikuti irama alam yang kudengar dari angin. Tapi ibuku tidak suka.
Aku sebal dengan ibu. Selalu saja aku yang disalahkan. Selalu aku yang dimarahi. Selalu aku yang dianggap berbohong, biang keladi dan pembuat masalah.
Seperti hari ini, ibu sudah marah-marah tentang perbuatan yang sama sekali tidak kulakukan. Selalu kalau ada yang tidak beres di rumah, aku yang dituding.
Entah sejak kapan semua ini terus berlangsung. Sepanjang ingatanku ini berawal ketika aku berumur 7 tahun dan adikku berumur 6 tahun – yah … kami kami cuma selisih satu tahun saja. Waktu itu kami bermain di sekitar kampung kami yang terletak di dekat sungai besar – dengan air berwarna krem atau coklat muda?. Ibu selalu mengingatkan supaya kami tidak bermain di dekat sungai. Tapi adikku yang ingin mengejar kupu-kupu – yang jarang sekali kami lihat di kawasan kampung kami – membawa kami ke sungai. Mungkin kupu-kupu itu haus atau hanya ingin mengerjai adikku, dimana dia terbang membawa kami ke pinggir sungai. Seperti halnya anak-anak lainnya, karena saking senangnya, tidak memperhatikan sekitarnya. Adikku terjatuh ke dalam air! Tangan mungilku tidak bisa menggapai tangannya. Untungnya ada seorang dewasa yang melihat dan segera menolong.
Aku ingat sekali muka ibu yang sangat pucat dan hampir pingsan ketika tahu bahwa anaknya hampir tenggelam atau bahkan terbawa arus. Aku melihat kondisi adikku yang sangat lemah – juga hampir pingsan – dan basah kuyup. Maka ketika ditanya, aku langsung berbohong – yang menurutku demi kebaikan kami berdua atau adikku, melindungi seperti yang sudah sering kulakukan selama ini – bahwa aku yang membawa adikku ke sungai. Tapi ternyata aku salah, ibu sangat marah! Kepadaku! Dikarenakan kejadian itu ibu mungkin sudah tidak percaya lagi denganku.
Sejak itu – entah terasa atau tidak, kurasakan atau tidak, terlihat jelas atau tidak – ada sedikit perbedaan perlakuan ibu yang diberikan antara aku dan adikku. Pikiran kanak-kanakku kadang merasa iri dengan perhatian lebih, kasih sayang lebih, sikap lembut yang diberikan khusus untuk adikku. Ayahku? Yah…dia terlalu sibuk mencari uang untuk makan dan hidup, apalagi dengan dua anak perempuan yang sudah bersekolah. Sementara dia cuma seorang sopir metro mini.
Dan sejak itu pula aku mulai sering mendengar kata-kata pembandingan yang diucapkan ibuku. Kata-kata yang tidak kentara kadang, tapi kadang secara langsung, yang membanding-bandingkan aku dengan adikku. Adikku yang manis, pintar dan rajin. Padahal aku merasa (atau pikiranku saja?) bahwa aku juga melakukan – berusaha melakukan – hal yang sama. Supaya menjadi dianggap manis, pintar dan rajin atau tidak merepotkan. Tapi semua usahaku sia-sia. Bahkan rangking kelas atau piala hasil perlombaan sekolah yang kudapat sama sekali tidak bisa membuat ibuku memberikan kata pujian sepatah-pun.
Sampailah kami – aku dan adikku – pada masa puber, masa remaja, yang kata orang penuh dengan hal-hal yang membahagiakan, cinta! Itu juga terjadi pada adikku yang mulai menjalin hubungan alias pacaran dengan teman sekolahnya. Aku? Hmmm… mungkin aku belum merasa tertarik dengan masalah tersebut karena ada hal lain yang lebih menyita perhatianku, menari!
Aku mengenal menari setelah bertemu dengan seorang perempuan seumuran ibuku –dia cantik dan sangat berbeda sekali dengan ibuku. Padma, dia menyuruhku memanggilnya, tanpa embel-embel yang lain. Padma tinggal di dekat sekolahku. Aku selalu melewati rumahnya saat berjalan berangkat-pulang. Rumahnya besar dan aneh (menurutku) dengan sebuah ruangan aneh tanpa dinding yang disebut pendopo. Di sana Padma melatih banyak anak ataupun kakak-kakak perempuan menari. Tari tradisional dari tempat dia berasal. Tapi setelah mengenal lebih dalam, dia berkata bahwa dia lebih suka menari sesukanya, dia bilang, kalau aku tidak salah, tari kontemporer.
Pertama, aku hanya suka melihat saja atau mendengarkan musik tarian-tarian yang dipelajari. Lama-kelamaan aku merasakan bahwa tubuhku juga ingin bergerak seperti Padma dan kakak-kakak lainnya. Maka, dari jauh, dengan diam-diam, aku mulai menirukan gerakan-gerakan mereka. Dan entah kenapa aku merasa damai dan nyaman, atau bahkan bebas! Ketika menari aku merasa bahwa aku berada di duniaku sendiri, dimana semua masalah menjauh dan semakin menghilang, semua perasaan gundah, semua perasaan bahwa aku tidak berguna, semua perasaan mendamba kasih sayang ibuku … Aku merasa sedikit lebih bahagia …
Sering, sepulang sekolah aku menyelinap masuk ke rumah Padma, dia hanya menoleh saat melihatku, tapi tidak berkata apa-apa (atua bahkan mengusirku) dan sibuk dengan tariannya. Saat tahu bahwa aku sering diam-diam menirukan mereka, Padma memintaku untuk datang setiap hari dan menjadi serius. Bahkan dia melatihku secara tersendiri – dimana aku tidak harus membayar seperti muridnya yang lain. Dan dalam hati aku menganggapnya sebagai seorang ibu …
Dari ayah, tanpa sengaja aku mendengar bahwa dulu ibuku juga seorang penari, tapi berhenti setelah menikah, apalagi melahirkan aku. Aku sangat tidak percaya mendengarnya. Ibu? Ibuku itu? Ibu yang selalu marah-marah padaku?
Sementara itu adikku yang sedang dilanda bunga-bunga asmara selalu mencari dan mencuri waktu untuk bisa bersama-sama dan menyemai benih-benih cinta dengan kekekasihnya. Dan seperti biasa, dia selalu menjadikanku alasan untuk “kegiatan” barunya itu. Aku tidak setuju tapi adikku selalu mendapatkan apa yang dia mau.
Hari ini aku sangat gembira karena aku akan menari di hadapan banyak orang. Sanggar tari asuhan Padma diminta mengisi acara kesenian di sebuah kantor pemerintah, dalam rangka hari pendidikan. Aku tidak memberitahu ayah, ibu bahkan adikku, karena untuk acara ini aku harus bolos sekolah. Dan kali ini, pertama kalinya aku pulang malam, larut bahkan karena saat melewati salah satu rumah tetangga aku melihat jam dinding menunjukkan hampir jam 11 malam. Selama berjalan pulang aku sudah membuat bermacam alasan yang bisa kukemukakan kepada ayah dan ibu. Alasan serasional mungkin.
Sampai di rumah aku disambut oleh tamparan ibu, bahkan sebelum aku sempat mengucapkan salam (yang rencananya akan kusambung dengan minta maaf dan alasan aku pulang malam). Aku hanya terpana, tidak mengerti, bahkan rasa sakit di pipi kiriku tidak terasa, mungkin syaraf-syaraf otakku belum bisa menerjemahkannya, karena baru pertama kali ini aku ditampar. Ibu menyemburkan serentetan kata bahwa aku benar-benar anak yang menyusahkan, kakak yang tidak baik, bla…bla…bla…. Aku benar-benar tidak mengerti. Apa ibu marah gara-gara aku menari dan pulang selarut ini?
Ayah akhirnya angkat bicara juga, walaupun tidak dengan nada tinggi, dimana adikku? Oh…tentang adikku rupanya. Ternyata adikku belum pulang. Malam ini memang malam Minggu.
Kali ini aku tidak mau mengulangi kejadian saat umur tujuh tahun, aku tidak mau berbohong dan aku mengatakan yang sebenarnya bahwa aku tidak tahu. Bahwa tadi aku bolos sekolah dan menari di hadapan para pejabat pemerintah. Dan selama ini adikku tidak pernah pergi denganku ketika aku belajar menari di tempat Padma.
Herannya, ayah tahu tentang Padma.
Kupikir ibuku akan senang bahwa putrinya ternyata mewarisi bakat menarinya dan bahwa putrinya yang satu ini ternyata tidak seburuk yang dia bayangkan selama ini. Dan aku sedikit berharap bahwa ibu akan lebih menyukaiku.
Tapi … ibu malah semakin marah! Berapapun alasan yang kuberikan, ibu tidak akan pernah percaya lagi padaku. Bahkan ibu berkata bahwa aku benar-benar anak yang tidak berguna, anak yang tidak bisa diharapkan (atau anak yang tidak diharapkan?! Apa aku salah dengar?!), kakak yang tidak bisa menjaga adiknya. Aku benar-benar tidak mengerti … apa kesalahanku …
Aku marah, walaupun aku sadar aku tidak boleh merasa demikian. Tapi aku marah! Walaupun, tetap, aku tidak bisa membenci ibuku sendiri. Aku merasa selalu diperlakukan tidak adil, padahal aku sudah berusaha menjadi anak yang baik. Padahal aku hanya melakukan hal yang kusukai dan menari menurutku sama sekali tidak berbau negatif.
Adikku pulang dengan menangis dan berkata bahwa aku meninggalkannya. Bohong besar! Aku menatap adikku dengan pandangan tidak percaya – sejak kejadian terjatuh ke sungai dia selalu bersembunyi dan berlindung di balik kebaikanku atau kemalanganku. Aku menoleh ke arah ayahku – meminta bantuan. Tapi dia hanya diam, tidak bisa memutuskan. Ibuku bisa dibilang murka! Habis sudah…
Aku berjalan menyusuri tepi sungai yang melewati kampungku. Sekarang, sungai itu terlihat tidak terlalu besar, mungkin karena aku juga tidak sekecil dulu, dan juga apalagi sekarang sudah banyak sekali rumah-rumah baru (walaupun bisa dibilang sama sekali tidak layak) yang bertengger di sepanjang kiri dan kanannya. Semakin banyak yang datang ke kampungku, orang-orang dari mana saja, orang-orang dengan bahasa-bahasa berbeda, orang-orang yang berharap bisa mendapatkan kehidupan lebih baik setelah datang ke kampungku ini. Sungai inipun semakin terlihat sesak, makin buram dan pekat warna airnya, makin sarat dengan sampah dan kotoran. Herannya baru kali ini aku sungguh-sungguh memperhatikannya.
Hari masih gelap walaupun semburat merah tanda matahari terbit sudah mulai terlihat di langit yang sekarang sudah mulai tertutup banyak bangunan. Namun sepagi itu sudah kudengar banyak aktivitas yang sudah mulai dilakukan orang-orang di sekitarku. Mereka akan mengulang lagi rutinitas yang sudah bertahun-tahun mereka lakukan.
Aku sampai di pertemuan beberapa jalur rel kereta api. Aku sudah cukup jauh dari kampungku. Haripun sudah semakin terang. Aku hanya membawa tas sekolahku yang berisi baju seperlunya dan sedikit uang jajan yang kusisihkan setiap hari, dulu rencananya untuk membeli sepeda sehingga tidak harus jalan kaki berangkat dan pulang sekolah. Ayah, ibu dan adikku masih berada di alam mimpi mereka saat aku keluar dari rumah tanpa bersuara. Sampai kapanpun mungkin aku tidak akan pernah mengerti apa sebenarnya perasaan ibu terhadapku.
Aku berdiri sejenak di persimpangan rel dan jalan tersebut. Tidak tahu harus pergi kemana. Kudengarkan irama kehidupan di sekitarku. Dan tiba-tiba aku ingin menari …
salatiga, 4 nov’08
Bookmark and Share

No comments:

Post a Comment