Sunday, July 25, 2010

di halte itu …

Rinai
Pertama kali aku melihatnya di halte bis di dekat kampusku. Siang ini sangat terik dan udara gerah – ciri khas musim kemarau. Apalagi biasanya aku pulang kuliah sore atau malam. Waktu itu dia duduk sendirian di bangku yang tersedia. Dia membaca buku. Aku datang bersama tiga teman perempuan yang sedang asyik dan rame membicarakan tentang kuliah hari ini dan mau kemana setelah ini.
Hal pertama yang membuatku melihat ke arahnya adalah keterasingannya duduk di bangku paling ujung – dia seperti berada di dunianya sendiri – tidak terpengaruh oleh orang-orang di sekitarnya ataupun ramai lalu lintas di depannya. Dia sangat asyik dengan apa yang dibacanya. Rambutnya yang agak ikal dan sedikit panjang tidak rapi, agak menutupi wajahnya.
“Rinai, bis kita datang!” seru salah satu teman membuyarkanku dari pandangan ke arah cowok tadi. Dengan enggan aku segera mengikuti teman-temanku, masih melihatnya sekilas dari kaca jendela bis. Dia masih menunduk, membaca …

Kikis
Hari ini capek sekali. Sudah panas dan gerah. Mana proposal skripsiku ditolak lagi. Padalah ini sudah masuk tahun kelima-ku sebagai mahasiswa. Yaa walaupun masih banyak teman satu angkatan yang bernasib sama tapi entah kenapa aku sudah merasa jenuh, ingin segera merampungkan salah satu jenjang dalam tingkatan kehidupanku ini. Apalagi Fea sudah akan diwisuda 2 bulan lagi. Rasanya aneh … malu lebih tepatnya … karena dia lulus lebih dulu. Aku merasa Fea semakin jauh …
Halte dekat kampus ini belum terlalu ramai dengan orang yang menunggu bis. Aku memilih tempat duduk paling ujung karena bisa bersandar sedikit ke dinding. Aku teringat membawa buku yang kupinjam dari Putra. Buku lama yang memang susah dicari karangan penulis dari Perancis yang sudah dialih-bahasakan ke dalam bahasa Inggris. Beberapa waktu lalu Putra – yang rajin menyatroni kawasan buku bekas – menemukannya dengan harga yang sangat miring. Ternyata menarik … karena buku itu bisa membuatku lupa sejenak dengan semua kekhawatiranku …

Rinai
Aku bangun kesiangan hari ini. Gara-garanya tadi malam nonton acara teater bersama teman-teman dan dilanjutkan dengan acara tak menentu di sebuah tempat ngopi. Aku belum pernah melewatkan kuliah apapun – dan aku juga tidak mau. Aku turun di halte biasanya – di seberang. Dan setelah bis over penumpang yang barusan kunaiki berlalu, aku melihatnya, di halte seberang. Sudah satu minggu berlalu semenjak pertemuan pertama dulu.
Kali ini dia berdiri – dan ternyata dia tinggi. Dan kali ini dia bersama dua orang temannya, cowok semua. Aku segera menyeberang bersama beberapa orang lainnya. Dan di sela-sela banyak orang tersebut aku melihatnya tertawa kecil karena mendengar apa yang dibicarakan salah seorang temannya.
Dikarenakan hal yang tak terduga tersebut akhirnya aku sukses menabrak seseorang yang berjalan di depanku. Kejadian kecil tapi aku yakin beberapa pasang mata di halte menoleh. Duh…malu…

Kikis
Sudah lama tidak pulang bareng dengan Putra dan Oyo – padahal notabene kami satu kost, satu angkatan tapi jurusan berbeda. Sama-sama belum kelar dengan skripsi tapi dengan alasan yang berlainan. Putra sibuk menjadi asisten dosen dan Oyo mungkin terlalu idealis. Sedangkan aku…hmmm mungkin terlalu asyik dengan hobi memotret-ku, yang kadang bisa membuatku melakukan perjalanan ke tempat-tempat jauh dalam waktu yang tak tentu.
Ada kejadian lucu hari ini di halte. Ada seorang cewek yang entah kenapa bisa menabrak orang di depannya, padahal mereka sedang menyeberang!

Rinai
Waktu menunjukkan jam 8 lewat ketika aku dan Sofi (dia teman satu kelas dan juga satu kost) pulang dari pratikum. Kami – tepatnya aku – dikejutkan oleh sosok dia yang juga menunggu di halte yang sepi. Dia sendirian dan langsung menoleh begitu kami datang. Rasanya jantungku berdesir saat itu. Walaupun gelap aku bisa melihat mukanya – cukup dekat. Sudah beberapa hari ini aku selalu mencari-cari sosoknya di halte ini – atau bahkan di kampus.
“Rinai!” panggil Sofi mengagetkanku. Rupanya dia sudah beberapa kali memanggil namaku tapi aku tidak menyahut. Aku merasa bodoh sendiri. Sofi tadi bertanya aku mau makan apa malam ini. “Jangan nasi goreng lagi ya, sudah 2 hari berturut-turut kamu makan itu” kata Sofi cepat sebelum aku menjawab. Aku sangat suka nasi goreng.
Aku tidak berani menoleh ke arah sosok dia tadi berdiri. Bis kami pun datang, meninggalkannya sendirian di halte yang sepi.
Aku selalu bertanya dalam hati siapa namanya …

Kikis
Seharian ini aku mengubur diri di perpustakaan dan mencari semua referensi yang sudah dinasehatkan dosen pembimbing. Mungkin karena terlalu bersemangat – atau dikejar keinginan untuk cepat selesai – tanpa sadar aku di sana sampai tutup.
Kuhidupkan ponselku yang sedari tadi memang sengaja kumatikan. Ada laporan beberapa missed call dan sms dari Fea, Putra dan beberapa kawan lainnya. Fea marah, karena dia tidak mau mengangkat panggilanku yang kuhitung sekitar 5 kali itu.
Sial, rutukku dalam hati. Halte ini sepi sekali. Selain aku hanya ada dua cewek yang sepertinya baru pulang kuliah. Mana lapar sekali. Pengen makan nasi goreng. Dan – seperti kebetulan – aku geli juga mendengar sedikit percakapan kedua cewek tadi, dimana yang satu sepertinya sangat suka juga nasi goreng – akut bahkan. Tapi namanya unik: Rinai. Entah kenapa aku jadi berpikir apa dia lahir waktu musim hujan.
Aku sangat suka hujan…

Rinai
Aku menahan diri untuk tidak bersorak senang ketika melihatnya di halte siang hari ini. Aku bersama dengan beberapa teman cewek. Dia sendirian, bersandar pada tiang halte dan sedang sibuk dengan ponselnya. Tapi tak lama kemudian ada beberapa cowok berseru memanggil namanya! Kikis!
Akhirnya, aku tahu namanya. Rupanya teman-temannya tadi ingin melihat foto yang diambil oleh Kikis (waduh…masih agak aneh memanggil namanya). Dia langsung mengeluarkan dari tas punggunggnya sebuah kamera hitam besar – seperti kamera profesional.
“Rinai!” seru salah seorang temanku, mengingatkanku untuk tidak melamun. Mereka heran kenapa aku selalu melamun kalau di halte bis. Aku segera mengikuti mereka dengan tidak rela. Baru kali ini aku tidak terlalu senang pergi ke Gramedia.

Kikis
Fea sudah mau membalas sms-ku dan hari ini kami janjian bertemu – malam mingguan – dan dia berkata akan menjemputku. Aku berkata bahwa aku di halte dekat kampus. Tiba-tiba, entah kenapa dengan refleks aku menoleh ke arah suara seorang cewek yang memanggil nama “Rinai!”, padahal aku sedang memperlihatkan hasil foto-foto jepretanku kepada para juniorku di klub fotografi kampus. Aku hanya melihat sosok cewek yang bernama Rinai itu dari belakang. Ternyata dia bertubuh paling kecil (baca: pendek dan imut) jika dibandingkan dengan teman-temannya.

Rinai
Aku merasa senang sekaligus sedih hari ini. Senang, karena aku bisa melihat sosoknya setelah hampir 1 minggu. Sedihnya … dia sudah memiliki kekasih. Aku dan Sofi sampai ke halte pada suatu sore. Aku dibuat tersentak oleh sosoknya yang sedang bergandengan tangan dengan seorang cewek cantik (baca: tinggi dan langsing), mereka baru akan bernajak menuju ke sebuah mobil berwarna merah muda yang diparkir tak jauh dari halte. Mungkin untuk se-per-sekian detik aku berdiri mematung. Dan Sofi menyadarinya karena dia sampai menoleh dan bertanya ada apa. “Rinai?!” ucapnya dengan heran, Sofi juga bertanya apa aku sakit karena mukaku pucat.

Kikis
Hari ini Fea mengajakku nonton – padahal sebenarnya aku hanya ingin tidur. Seharian tadi aku di perpustakaan (yang sekarang menjadi tempat favoritku), berkutat di depan komputer dan buku. Tapi Fea terlihat manis sekali hari ini. Dia menjemputku di halte dan langsung menggandeng tanganku dengan lembut. Namun … aku sempat menoleh sekilas saat kudengar nama “Rinai” diucapkan dengan nada cemas oleh temannya. Sepertinya Rinai sedang sakit…

Rinai
Musim hujan sudah mulai menyapa. Dan aku patah hati saat hujan datang. Rasanya sendu…. Sofi dan teman-teman yang lain mungkin menyadari perilakuku yang agak aneh. Tapi aku beralasan bahwa ini sindrom musim hujan. Maaf ya hujan …
Dan … sudah lama sekali aku tidak melihat sosoknya. Lebih tepatnya aku menghindari pertemuan dengannya. Kalau dulu aku menanti dan mencari-cari sosoknya, sekarang kebalikannya. Aku memilih turun dan naik bis bukan di dan dari halte yang biasanya. Halte yang penuh kenangan …
Aneh memang … aku menyukainya … walaupun hanya melihatnya dari jauh … tahu namanya hanya dari teman-temannya … sama sekali tidak tahu menahu tentangnya … tapi aku menyukainya … dan rasanya memang sakit saat tahu bahwa dia sudah mempunyai kekasih …

Kikis
Hari ini hujan turun sudah yang kedua kalinya. Di halte ini banyak kulihat payung beraneka warna – hmm … menarik. Hanya aku sendiri yang memakai jas hujan. Entah kenapa aku jadi teringat cewek yang bernama Rinai. Sudah lama aku tidak mendengar suaranya diucapkan oleh teman-temannya. Apa dia benar-benar sakit waktu itu?
Aku tersenyum sinis sendiri karena sadar bahwa aku memikirkan hal yang benar-benar aneh – tentang seorang cewek yang hanya kutahu namanya dan hanya kulihat dari belakang saja – tentang cewek yang sama sekali tak kukenal ….

Rinai
Aku berulang tahun hari ini. Ya … aku memang lahir di bulan hujan. Teman-teman kost memberikan pesta kejutan – kecil-kecilan. Make a wish Rinai …

Kikis
Pusing … Fea mengajakku ke tahap hubungan yang lebih serius. Dia – lebih tepatnya, orangtuanya – ingin kami berdua menikah. Lalu kuliahku? Dia bilang, papinya akan memberiku pekerjaan, jadi skripsi bisa diselesaikan sambil berjalan. Gampang sekali!
Aku beralasan bahwa bukan itu masalahnya … aku ingin sekali saja menyelesaikan apa yang sudah kumulai, dengan usahaku sendiri – dengan kedua tanganku sendiri.
Dan terus terang aku belum siap untuk menikah!
Fea tidak mau menerima alasanku … dia tidak mau mengerti … bahkan dia berkata bahwa aku tidak lagi mencintainya… dia berkata bahwa aku semakin jauh … Benarkah?

Rinai
Sudah 5 menit aku berada di bawah hujan (dengan payungku), menunggu Sofi yang tak kunjung datang. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh sosok yang masuk ke bawah payungku. Dia harus menunduk dikarenakan postur tubuhnya yang tinggi. Aku hampir tidak bisa bernafas saking kagetnya.
“Sori, nebeng. Mau ke halte, kan?” tanya Kikis dengan cepat. Aku cuma bisa mengangguk, mengiyakan – padahal sebenarnya aku tidak mau ke halte!. Dan dia langsung tersenyum dan mengambil alih membawa payungku …
Ya, Tuhan … aku sudah patah hati karena dia tapi aku ingin lebih bisa mengenalnya …

Kikis
Aku sangat marah dengan Fea. Dia telah sangat menghina dan membuatku tersinggung. Ini bukan lagi soal cinta. Aku pikir sudah cukup. Dia sudah tidak bisa menerimaku. Dia menginginkan diriku yang lain – diriku yang diidealkannya. Dia berkata bahwa dia sudah tidak bisa menungguku lagi …
Saat itulah aku melihatnya – Rinai! Sosoknya dari belakang. Berdiri di bawah hujan dengan payung birunya. Dan tiba-tiba saja aku sudah berlari ke arahnya, langsung masuk ke bawah lindungan payungnya. Matanya benar-benar membulat karena terkejut melihatku.
Di halte, kami berdiri bersisihan, melihat hujan, menunggu …
Tiba-tiba aku memutuskan bahwa aku tidak mau hanya begini – teringat penggalan sebuah lirik lagu yang berbunyi: cinta tak hanya diam …
“Namaku Kikis … kamu?” – hei, walau aku sudah tahu namamu!
Tapi aku ingin lebih mengenalmu …

Salatiga, 1st November 2008

Bookmark and Share

No comments:

Post a Comment