“Bu, kapan ayah pulang?” tanya adikku, entah sudah yang ke-berapa-kalinya. Kudengar ibuku hanya menghela napas lalu membisikkan kata-kata lembut kepada putri bungsunya itu. Ibu merasa sama tidak tahu dan juga kecemasan sudah melandanya sekarang. Sehingga hanya tinggal sedikit asa untuk menenangkan adikku, karena untuk menghiubur hatinya sendiripun sudah cukup sulit dan berat.
Aku menoleh ke luar jendela. Hanya gelapnya malam dan guyuran air hujan yang terlihat di sana. Sesekali guntur terdengar seperti dari tempat yang dekat. Udara terasa menggigit, apalagi di rumah kami yang kecil ini. Kami sekeluarga – kecuali ayahku, tentu saja – berkumpul di meja makan yang juga merangkap ruang tamu dan tempat kami belajar. Kulihat kakakku – abangku – sudah meringkuk dan tertidur di kursinya, dengan kepala di meja. Dia memang tipe orang yang bisa tidur dimanapun dan kapanpun. Adikku sedari tadi lebih memilih duduk di pangkuan ibu yang hangat dan nyaman. Dia masih berumur 5 tahun. Ibu, kuperhatikan dengan ekor mataku, cuma menatap cangkir berisi kopi yang selalu disediakan untuk ayah setiap kali ia pulang dari berjualan keliling. Kopi itu sudah dingin sekarang. Kami – anaknya – selalu berebut meminum kopi ayah, tapi tentu saja setelah ayah meminumnya terlebih dulu.
Sementara itu aku, setelah selesai mengerjakan pe-er matematika (biasanya juga ayah yang membantuku, kadang terlalu lama mengutak-atik soal-soal matematikaku, sampai aku tertidur menunggu jawabannya), cuma bisa berdiri di dekat jendela. Memandang gelapnya malam, derasnya hujan dan juga jalan kecil menuju rumah kami. Siapa tahu aku bisa melihat motor tua ayah dengan ayah di atasnya, datang.
Seharusnya ayah sudah harus ada di rumah sejak 3 jam yang lalu. Namun sampai sekarang kami semua menunggu, sama sekali tidak tenang dan bertanya-tanya – dalam hati – karena takut dengan melontarkan pikiran buruk kami sendiri. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkan ibu, tapi yang jelas ada gurat rasa cemas di wajah dan juga matanya. Ibu selalu mengingatkan kami untuk berdoa supaya ayah tidak apa-apa dan selamat sampai di rumah. Aku bersungguh-sungguh mematuhinya dan berdoa dalam hati.
“Jangan-jangan ayah mengalami kecelakaan …” kataku tanpa sadar, akhirnya tak tahan. Teringat kejadian samar-samar, dulu, ayahku yang mengalami kecelakaan kecil dengan sepeda motornya di jalan.
“Hus!” respon ibu dengan cepat. Mungkin terkejut dengan ucapanku yang sama persis dengan apa yang sedang dipikirkan dan dikhawatirkannya. “Jangan berkata seperti itu, tabu!” tambahnya dengan nada memperingatkan. Ibuku pernah berkata bahwa kadang apa yang kita ucapkan – baik itu saat sedih ataupun marah, sengaja maupun tak sengaja – bisa menjadi kenyataan. Seperti doa.
Aku terkesiap mendengar hardikan ibu, merasa bersalah dan ingin menangis jadinya. Ya… mungkin kalau lebih besar pasti aku tahu bahwa ibu sedang menahan beban berat, menenangkan ketiga anaknya dan juga untuk meredakan ketidaktenangan hati dan pikirannya sendiri, mencemaskan suaminya.
Walaupun baru kelas 3 SD aku tahu bahwa ayah dan ibu telah berjuang terlalu keras. Aku banyak melihat dan mendengar. Mungkin juga aku terlalu perasa, apalagi jika dibandingkan dengan abang dan adikku. Kehidupan kami bisa dibilang menderita. Dan ayah adalah tulang punggung kami. Berusaha terlalu keras melebihi kemampuannya. Ingin memperlihatkan bahwa dia mampu menghidupi istri dan anak-anaknya.
Dari kecil kami, anak-anaknya, telah sering mendengar cerita sedih tentang perkawinan ayah dan ibu yang tidak setujui, terutama oleh keluarga ibu. Bahkan kami adalah cucu-cucu yang tidak diakui. Itulah sebabnya ayah berjuang terlampau keras. Terkadang tanpa sadar menularkan kebencian atas perilaku yang diterimanya. Dan mungkin ayah dan ibu tidak tahu bahwa cerita sedih tersebut telah terlalu merasuk ke dalam pemikiran kanak-kanakku. Berdiam diri di sana seperti kanker ganas yang tidak akan pernah hilang. Yang akan selalu menghantui dan menggerogotiku. Apalagi dipupuk dengan kenyataan penderitaan, tangis, rasa marah, dendam, pertengkaran dan kekeraskepalaan yang kulihat, kudengar dan kurasakan dari waktu ke waktu.
Aku sudah mulai merasa lelah dan mengantuk. Memutuskan untuk mengikuti jejak abangku. Sebenarnya aku masih sangat ingin menunggu ayah. Tapi mata mungilku tidak mau menuruti perintahku. Dan samar-samar aku mendengar ibu menidurkan adikku di kamar. Lalu tak lama kemudian aku mendengar ketukan atau gedoran di pintu depan? Dan sebelum kesadaranku benar-benar hilang aku melihat ibu dengan tergesa-gesa membuka pintu, dan di sana berdiri sesosok pak polisi. Dan seperti dari tempat yang sangat jauh dan bergema aku mendengarnya berkata: “Maaf, nyonya, suami anda mengalami kecelakaan …”.
No comments:
Post a Comment